Butuh Pengorbanan

Ada sebuah ungkapan " Berjalanlah sejauh mungkin, maka kamu akan mengenal lebih jauh dirimu sendiri".

Aldi
Siang ini cuaca nampak cerah alias panas terik. Bagaimana tidak, langit terhampar biru sejauh mata memandang dan hanya sedikit awan-awan putih beriringan. Terlihat menawan memang langit siang ini jika saja berada di pantai, tapi aku kini terdampar di stasiun pasar senen yang penuh sesak, menunggu jadwal keberangkatan kereta. Melihat dari tiket yang sudah dipesan dari sebulan sebelumya, tertera pukul 14.00 wib kereta berangkat menuju surabaya tepatnya stasiun pasar turi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 12.45, selepas shalat jumat aku mencari tempat untuk makan siang sambil menunggu Rara sahabatku yang akan sama-sama pergi jalan-jalan menuju Kawah Ijen Banyuwangi.

Rara adalah sahabat perjalananku sejak masa kuliah, kami kuliah di kampus yang sama dengan jurusan yang sama Desain Komunikasi Visual. Selepas kuliah, kami kerja di tempat yang berbeda namun tak mengahalangi kegiatan kami dalam pergi berpetualang bersama. Sebenarnya dia menyukai pantai, namun aku sering mengajaknya untuk naik gunung meski ujung-ujungnya tak pernah sampai puncak. Tercatat sudah tiga gunung yang kami daki bersama, gunung gede, pangrango, papandayan. Hanya papandayan yang akhirnya sampai puncak, sementara dua lainnya gagal.

Kebersamaan kami pergi jalan bukan tanpa sebab, berawal dari acara kampus yang pergi jalan-jalan ke dataran tinggi Dieng. Dan disana ternyata rombongan kami tidak menyenangkan, cenderung tidak satu visi. Alhasil disana kami berdua sering menghilang saat sampai di suatu destinasi wisata dan kembali pada waktu yang ditentukan.

Rara
"Ra, gw nunggu direstoran samping pintu selatan ya". Aku melihat isi pesan dalam telepon genggamku. Aku pun bergegas melangkah untuk menuju titik pertemuan. Aldi memang berangkat lebih dulu ke stasiun senen, dia beralasan ingin shalat jumat distasiun. Awal tahun yang sungguh melelahkan dalam kerjaan membuatku tak pikir panjang mengikuti ajakan Aldi untuk ke Kawah Ijen. Aku sesungguhnya tak menyukai perjalanan yang menguras tenaga, terlebih mendengar kawah, yang artinya bagian dari gunung membuatku sudah kebayang betapa melelahkannya perjalanan itu nanti ditambah dengan tempat yang kami kunjungi adalah bagian ujung timur pulau jawa.

Namun aku butuh refreshing dari pekerjaan awal tahun yang super padat dan menguras pikiran. Selain itu Aldi pun merayuku dengan mengatakan, "Ra, ayo ke Kawah Ijen, kita liat Api Biru. Cuma ada dua di dunia loh, satu di Iceland dan satu di Indonesia".

14.00 wib kereta api Kertajaya melaju sesuai jadwal dari Stasiun Pasar Senen. Perjalanan panjang, akhirnya jam 01.30 pada sabtu dini hari tiba di Stasiun Pasar Turi Surabaya. Perjalanan kami lanjutkan menggunakan mobil sewaan yang sudah menanti di stasiun. Pak Amir selaku supir memperkenalkan diri dan mengantar kami ke mobil. Beliau mengatakan perjalanan akan menghabiskan waktu kurang lebih delapan jam hingga tiba di banyuwangi.

Perjalanan kami lalui melalui jalur selatan, jalur yang indah dengan pemandangan hijau terbentang disisi jalan. Dari Kejauhan aku menatap sesuatu, "Pak, itu gunung Raung yah" tanyaku pada pak Amir. Sesaat pak Amir menoleh kesamping, dan berujar "Iya mas, itu gunung Raung". Ah gunung Raung, puncak sejati yang penuh perjuangan untuk kesananya. Aku ingat saat dulu pernah berujar kepada Rara untuk ke Gunung Raung, disana aku ingin membuat tulisan untuk kekasihku Annisa. Namun Rara melarangku, dan berkata jangan gila deh lo Di. Lo lupa gimana kejadian pas lo ke Semeru cuma buat ungkapin cinta ke Annisa dimana lo kena hipotermia yang cukup parah, dan kali kedua lu jatuh dari puncak sampe tangan lo patah. Aku memandang senyum sahabatku yang sedang tertidur di kursi belakang. Bukankah itu gunanya teman, mengingatkan kita dari hal-hal bodoh yang ingin dilakukan.

Setelah sempat berkeliling di daerah banyuwangi, Jam 23.00 wib kami sampai di Paltuding. Ini adalah pos awal untuk trekking ke kawah ijen. Kawah Ijen sendiri adalah bagian dari Gunung Ijen dengan fenomena api biru. Dibutuhkan waktu 2 jam untuk menuju lokasi, guide memberikan petunjuk sebelum trekking. Beberapa perlengkapan yang perlu disiapkan adalah senter/headlamp , masker, air mineral serta makanan ringan. Ia mengingatkan kami agar tidak memaksakan diri jika kelelahan serta kondisi fisik tidak prima.

Pukul 01.30 kami mulai pendakian, cukup banyak yang melakukan pendakian untuk melihat si api biru mungkin ada sekitar 200-an orang. Jalur cukup terjal, kami beberapa kali istirahat untuk mengatur pernapasan, untungnya kami disuguhi pemandangan cahaya kota yang menarik, tampak lampu-lampu dari perumahan di bawah sana seperti hamparan bintang selain bintang dilangit yang cukup banyak tentunya dan oh iya malam ini purnama sempurna menggantung dilangit. Kira-kira untuk melihat api biru, sebaiknya jam 04.00 pagi sudah sampai, karena suasana masih gelap sehingga api biru dapat terlihat jelas. Aku menatap Rara, keringat bercucuran, nafasnya tersengal jelas ini perjalanan berat. Selang satu jam kami tiba di pos bundar, tempat dimana ada bagian untuk beristirahat sekedar selonjoran kaki atau tiduran.

Perjalanan kami lanjutkan, selain medan yang semakin berat, bau asap belerang makin menyengat. Ada saran sebaiknya memakai masker seperti pemadam kebakaran, itu cukup ampuh untuk terhindar dari menyengatnya asap belerang. Namun kami memakai masker kain biasa, otomatis asap belerang menembus masker yang kami pakai. Namun diperjalanan ada sesorang yang mengatakan "Basahi maskernya dengan air, biar ngga menyengat". Benar saja, setelah dibasahi, bau menyengat belerang berkurang. Jam sudah menunjukkan pukul 03.40, dan masih cukup jauh menuju lokasi. Rara tampak kewalahan dan sepertinya tidak sanggup melanjutkan perjalan dimana hanya 2 menit berjalan, ia sudah minta istirahat.

"Kita sampai sini aja kalo kamunya ngga kuat" ucapku pada rara.

"Jangan Di, lo duluan aja jalan, gw nyusul" balas dia sambil terbatuk-batuk.

"Kita kesini bareng-bareng, lo ngga.. ya gue juga ngga. udah kita turun aja yuk" pintaku.

"Di, gw bakal sampe keatas kok, cuma klo lu bareng sama gw, lu ngga bakal dapet melihat api biru karena keburu langit terang".  Lo kan yang ngebet untuk melihat api biru, udah lo aja naik duluan. Gw tau prinsip lo adalah, berangkat sama-sama, mencapai sesuatu sama-sama dan pulang sama-sama. Tapi kali ini gw mohon, lo duluan. Gw akui prinsip itu bagus, dan itu tanda persahabatan yang kuat. Tapi gw juga harus sadar diri, sebagai sahabat gw ngga boleh menghalangi lo atau jadi beban lo untuk mecapai tujuan lo. Gw akan ada diatas, tapi mungkin ngga untuk api biru. "Pliiis .." ujarnya sambil menelungkupkan tangan.

Akhirnya gw pun mendapatkan api biru itu. Langit mulai cerah, matahari mulai meninggi. Jam menunjukkan pukul 05.00, aku tidak terlalu lama melihat api biru, sekedar mengabadikannya dalam bidikan lensa kamera. Aku terus memikirkan Rara, entah apakah ia sampai atau tidak diatas atau mulut kawah ijen.

"Haiii.... Aldiii ..." terdengar teriakan seseorang.

Tuh kan gw sampai juga disini, hehehe. Rara tampak tersenyum ceria. Tak terlihat wajah lelahnya seperti saat mendaki tadi. Hmmm yah kalaupun gw ngga dapet si biru, setidaknya gw melihat si ijo, sambil menunjuk ke arah kawah. Dan gimana api birunya, bagusan mana sama kompor di rumah, ledek Rara padaku.

"Bagus.... banget...banget..banget Ra" ucapku dalam hati.

Disini sekali lagi, perjalanan indah bareng sahabat gw lalui. Selalu ada cerita menarik dan pelajaran berharga dan kali ini Rara banyak mengajarkanku sesuatu tentang arti sahabat.


*
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .













Ibu

Ibuku tak seperti ibu kalian...
Dia tak lihai memainkan handphone...
Setiap menelepon pun tak bisa bercerita lama... Hanya "halo, dimana, kapan pulang". Sms pun hanya sepatah dua patah kata.

Untungnya masih setiap hari bertemu, dan serumah. Dia selalu terjaga pukul 3, menyiapkan masakan untuk membuat sarapan.

Dia tak pandai menjadi teman bercerita, namun selalu menjadi motivator terbaik. Sederhana saja... "Selesain tugas akhir, kapan ngerjain tugas akhir, .... Lulus trus kerja, nanti kalo nikah biayanya segini, kumpulin uang makanya buat beli rumah.. Dan lainnya".

Letihmu tampak diraut wajahmu, meski pesona cantik masa mudamu masih terlihat.

Jiwa ragamu menemani setiap langkah dan momen penting dalam hidupku. Rasanya tak pernah cukup untuk membuatmu bahagia, ah ibu... Sehat selalu, ada banyak hal indah yang ingin kubagi denganmu.